Sesal di
Muka Pendapatan, Sesal Kemudian Tiada Berguna
(oleh
Ahmad Farid Wajdi, disampaikan pada khotbah Jumat di Masjid Al-Jami’ah UIN STS
Jambi, 14 September 2018)
Sidang jemaah jum’at yang dirahmati Allah.
Zulhijjah di tahun 1439 Hijriah baru saja berlalu, saat
ini kita masih berada di awal Muharram 1440 Hijriah. Satu tahun telah kita
lalui, dan sekarang kita akan menjalani tahun yang saat ini kita berada
padanya. Dan begitu pula seterusnya nanti, kita akan meninggalkan tahun yang
kita saat ini dan akan menjalani tahun yang akan datang selanjutnya. Dan
begitulah selanjutnya. Hari berganti hari, malam pun berlalu dengan cepat.
Minggu berganti minggu, hingga sepekan tiada terasa. Bulan berganti bulan,
hingga tak terasa umur semakin tua. Tahun berganti tahun, hingga kita tak lagi
muda. Dan kematian semakin dekat, tanpa diketahui kapan ia akan datang untuk menjemput
kita.
Perjalan waktu tidak kenal runding, ia tidak akan
menunggu kita. Ia laksana pedang yang bila kita tidak menggunakannya untuk
memotong lawan, maka pedang lawanlah yang memotong kita. Hingga kita jatuh
tersungkur dan kalah dengan penderitaan. Ia juga laksana uang, yang nilainya
tak bisa dibeli ketika kita mengabaikannya. Sehingga kita banyak mengalami
kerugian.
Namun perjalanan waktu yang begitu cepat ini, sering kali
membuat kita terbuai dengan kemalasan dan pebuatan sia-sia sehingga ketika kita
tersadar, semuanya sudah terlambat. Maka penyesalanlah yang terjadi, kenapa
dulu tidak begini, kenapa dulu tidak begitu. Dan kenapa-kenapa yang lainnya.
Kalau saja dulu begini, maka tidak akan begitu. Kalau saja saja dulu begitu,
maka tidak akan begini, dan banyak lagi kalau-kalau yang lainnya. Padahal kita
semua tahu sabda Rasulullah:
فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Maka sesungguhnya kata “kalau” itu membuka peluang
pekerjaan setan. (HR. Muslim 2664).
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (99)
لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ
قَائِلُهَا
Ketika telah datang kematian pada mereka, lalu dia
berkata: “Wahai Tuhanku, kembalikanlah aku, niscaya aku akan melakukan amal
salih yang telah aku tinggalkan semasa hidup”. Sia-sia saja, itu hanya ucapan
kosong belaka. (QS: Al-Mu’minum, 23:99-100).
Sidang jamaah Jum’at yang dirahmati Allah.
Ada pepatah mengatakan:
Sesal di muka pendapatan, sesal kemudian tiada berguna.
Pepatah ini sangat singkat, namun sangat padat dan sarat
akan makna. Betapa tidak, seringkali kita melihat dan bahkan sering kali
justeru kita sendirilah yang mengalami betapa tiada berarti penyesalan terhadap
sesuatu yang telah terjadi. Sebab hal tersebut sudah tidak lagi bisa terulang
dan diulang. Masa yang lalu telah berlalu, kini adalah sekarang, esok belumlah
diketahui. Sehingga pepetah di atas memberikan kita nasehat bahwa sebelum
menyesal di kemudian hari ada baiknya kita menyesal di muka.
Lalu apa maksud dengan sesal di muka. Bukankah penyesalan
itu selalu belakangan?.
Lalu bagaimana pula cara menyesal di muka itu?
Tentu kita sudah sama-sama mengetahui bahwa maksud dari
sesal di muka itu adalah melakukan pertimbangan yang matang sebelum melakukan
suatu perbuatan. Perlu ditimbang baik dan buruknya. Perlu ditimbang manfaat dan
mudaratnya. Perlu ditimbang mampu atau tidak. Perlu ditimbang menyenangkan atau
menyusahkan. Perlu ditimbang menguntungkan atau merugikan, baik untung rugi
jangka pendek maupun untung rugi jangka panjang. Dan lain sebagainya, yang pada
intinya perlunya timbang menimbang sebelum berbuat.
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ
أَنْ تُوزَنُوا وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ يَوْمَ تُعْرَضُونَ لَا
تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
Umar Bin Al-Khaththab berkata:
Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah
diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan berhiaslah untuk hari penampakan amal
terbesar, hari di mana semuanya akan ditampakan. Tidak ada yang disembunyikan
dari kalian satu rahasia pun.
Maksud dari perkataan Umar ini adalah bahwa penting bagi
kita semua untuk melakukan muhasabah, menimbang-nimbang sendiri amalan kita
sebelum dihisab dan ditimbang oleh Allah Ta’ala. Sebab hisab dan timbangan pada
saat itu tidak ada rahasia sedikit pun, dan tidak pula ada peluang kecurangan
sedikit pun.
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
Pada hari itu kalian akan
dihadapkan (kepada Tuhan kalian), tidak ada satu pun dari kalian yang tersembunyi
(dari Allah). (QS Al-Haqqah, 69:18).
لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا
أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
Tidak meninggalkan yang kecil tidak pula yang besar
melainkan ia mencatatnya, dan mereka mendapati apa-apa yang telah mereka
kerjakan ada tercatat, Dan Tuhanmu tidak akan menzalimi seorang pun. (Al-Kahfi,
18:49)
Ini berarti semua amalan kita akan diperhitungkan, ada
perhisaban, ada penimbangan. Jika banyak dan berat amalan baik kita, maka kita
akan selamat. Jika banyak dan berat amal buruk kita, maka itu akan menjadi
alamat. Bahkan sekecil apapun amalan kita, semua ada balasannya; baik yang yang
kecil itu amalan baik, apalagi amalan buruk. Semuanya ada balasan:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ
مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Maka barang siapa yang berbuat kebaikan sekecil biji sawi
pun dia akan melihat balasannya, dan barang siapa yang berbuat kejahatan
sekecil biji sawi pun dia akan melihat balasannya.
Sebelum kita menyesal di masa itu, maka hendaklah kita
menyesal sejak sekarang. Artinya hendaknya
kita sudah menimbang-nimbang semenjak awal untuk tidak menyesal di masa
depan.
Sudah banyakah amalan baik yang kita lakukan?
Sudah baikkah hubungan kita dengan Allah?
Sudah baikkah hubungan kita dengan sesama makhluk Allah?
Dan sudah siapkan kita untuk menghadapi perhitungan Allah?
Sidang jemaah jum’at yang berbahagia.
Tentu kita tidak akan berani menjawab:
Ya, amalan baik saya sudah banyak.
Ya, hubungan saya dengan Allah sudah baik.
Ya, hubungan saya dengan sesama makhluk Allah sudah baik
Ya, saya sudah siap menghadapi perhitungan Allah.
Tentu kita tidak akan berani menjawab seperti itu. Maka inilah
yang dimaksud oleh Umar bin Al-Khaththab: timbanglah dirimu sebelum engkau
ditimbang, hisablah dirimu sebelum dihisab. Artinya kita mesti bersiap-siap
agar tidak menyesal di kemudian, maka kita mesti menyesal di muka, artinya kita
mesti bersiap-siap. Bukan menyesal kemudian yang tiada berguna lagi. Sehingga
tepatlah kata pepatah di awal; sesal di muka pendapatan, sesal kemudian tiada
berguna.
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ
وَلِسَائِرِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ
الْغَفُوْرُ الرّحِيْمُ.
No comments:
Post a Comment