Friday 21 September 2018

Sesal di Muka Pendapatan, Sesal Kemudian Tiada Berguna.

Sesal di Muka Pendapatan, Sesal Kemudian Tiada Berguna
(oleh Ahmad Farid Wajdi, disampaikan pada khotbah Jumat di Masjid Al-Jami’ah UIN STS Jambi, 14 September 2018)


Sidang jemaah jum’at yang dirahmati Allah.
Zulhijjah di tahun 1439 Hijriah baru saja berlalu, saat ini kita masih berada di awal Muharram 1440 Hijriah. Satu tahun telah kita lalui, dan sekarang kita akan menjalani tahun yang saat ini kita berada padanya. Dan begitu pula seterusnya nanti, kita akan meninggalkan tahun yang kita saat ini dan akan menjalani tahun yang akan datang selanjutnya. Dan begitulah selanjutnya. Hari berganti hari, malam pun berlalu dengan cepat. Minggu berganti minggu, hingga sepekan tiada terasa. Bulan berganti bulan, hingga tak terasa umur semakin tua. Tahun berganti tahun, hingga kita tak lagi muda. Dan kematian semakin dekat, tanpa diketahui kapan ia akan datang untuk menjemput kita.
Perjalan waktu tidak kenal runding, ia tidak akan menunggu kita. Ia laksana pedang yang bila kita tidak menggunakannya untuk memotong lawan, maka pedang lawanlah yang memotong kita. Hingga kita jatuh tersungkur dan kalah dengan penderitaan. Ia juga laksana uang, yang nilainya tak bisa dibeli ketika kita mengabaikannya. Sehingga kita banyak mengalami kerugian.
Namun perjalanan waktu yang begitu cepat ini, sering kali membuat kita terbuai dengan kemalasan dan pebuatan sia-sia sehingga ketika kita tersadar, semuanya sudah terlambat. Maka penyesalanlah yang terjadi, kenapa dulu tidak begini, kenapa dulu tidak begitu. Dan kenapa-kenapa yang lainnya. Kalau saja dulu begini, maka tidak akan begitu. Kalau saja saja dulu begitu, maka tidak akan begini, dan banyak lagi kalau-kalau yang lainnya. Padahal kita semua tahu sabda Rasulullah:
فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Maka sesungguhnya kata “kalau” itu membuka peluang pekerjaan setan. (HR. Muslim  2664).
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (99) لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا
Ketika telah datang kematian pada mereka, lalu dia berkata: “Wahai Tuhanku, kembalikanlah aku, niscaya aku akan melakukan amal salih yang telah aku tinggalkan semasa hidup”. Sia-sia saja, itu hanya ucapan kosong belaka. (QS: Al-Mu’minum, 23:99-100).
Sidang jamaah Jum’at yang dirahmati Allah.
Ada pepatah mengatakan:
Sesal di muka pendapatan, sesal kemudian tiada berguna.
Pepatah ini sangat singkat, namun sangat padat dan sarat akan makna. Betapa tidak, seringkali kita melihat dan bahkan sering kali justeru kita sendirilah yang mengalami betapa tiada berarti penyesalan terhadap sesuatu yang telah terjadi. Sebab hal tersebut sudah tidak lagi bisa terulang dan diulang. Masa yang lalu telah berlalu, kini adalah sekarang, esok belumlah diketahui. Sehingga pepetah di atas memberikan kita nasehat bahwa sebelum menyesal di kemudian hari ada baiknya kita menyesal di muka.
Lalu apa maksud dengan sesal di muka. Bukankah penyesalan itu selalu belakangan?.
Lalu bagaimana pula cara menyesal di muka itu?
Tentu kita sudah sama-sama mengetahui bahwa maksud dari sesal di muka itu adalah melakukan pertimbangan yang matang sebelum melakukan suatu perbuatan. Perlu ditimbang baik dan buruknya. Perlu ditimbang manfaat dan mudaratnya. Perlu ditimbang mampu atau tidak. Perlu ditimbang menyenangkan atau menyusahkan. Perlu ditimbang menguntungkan atau merugikan, baik untung rugi jangka pendek maupun untung rugi jangka panjang. Dan lain sebagainya, yang pada intinya perlunya timbang menimbang sebelum berbuat.
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ يَوْمَ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
Umar Bin Al-Khaththab berkata:
Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan berhiaslah untuk hari penampakan amal terbesar, hari di mana semuanya akan ditampakan. Tidak ada yang disembunyikan dari kalian satu rahasia pun.
Maksud dari perkataan Umar ini adalah bahwa penting bagi kita semua untuk melakukan muhasabah, menimbang-nimbang sendiri amalan kita sebelum dihisab dan ditimbang oleh Allah Ta’ala. Sebab hisab dan timbangan pada saat itu tidak ada rahasia sedikit pun, dan tidak pula ada peluang kecurangan sedikit pun.
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
Pada hari itu kalian akan dihadapkan (kepada Tuhan kalian), tidak ada satu pun dari kalian yang tersembunyi (dari Allah). (QS Al-Haqqah, 69:18).
لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
Tidak meninggalkan yang kecil tidak pula yang besar melainkan ia mencatatnya, dan mereka mendapati apa-apa yang telah mereka kerjakan ada tercatat, Dan Tuhanmu tidak akan menzalimi seorang pun. (Al-Kahfi, 18:49)
Ini berarti semua amalan kita akan diperhitungkan, ada perhisaban, ada penimbangan. Jika banyak dan berat amalan baik kita, maka kita akan selamat. Jika banyak dan berat amal buruk kita, maka itu akan menjadi alamat. Bahkan sekecil apapun amalan kita, semua ada balasannya; baik yang yang kecil itu amalan baik, apalagi amalan buruk. Semuanya ada balasan:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Maka barang siapa yang berbuat kebaikan sekecil biji sawi pun dia akan melihat balasannya, dan barang siapa yang berbuat kejahatan sekecil biji sawi pun dia akan melihat balasannya.
Sebelum kita menyesal di masa itu, maka hendaklah kita menyesal sejak sekarang. Artinya hendaknya  kita sudah menimbang-nimbang semenjak awal untuk tidak menyesal di masa depan.
Sudah banyakah amalan baik yang kita lakukan?
Sudah baikkah hubungan kita dengan Allah?
Sudah baikkah hubungan kita dengan sesama makhluk Allah?
Dan sudah siapkan kita untuk menghadapi perhitungan Allah?
Sidang jemaah jum’at yang berbahagia.
Tentu kita tidak akan berani menjawab:
Ya, amalan baik saya sudah banyak.
Ya, hubungan saya dengan Allah sudah baik.
Ya, hubungan saya dengan sesama makhluk Allah sudah baik
Ya, saya sudah siap menghadapi perhitungan Allah.
Tentu kita tidak akan berani menjawab seperti itu. Maka inilah yang dimaksud oleh Umar bin Al-Khaththab: timbanglah dirimu sebelum engkau ditimbang, hisablah dirimu sebelum dihisab. Artinya kita mesti bersiap-siap agar tidak menyesal di kemudian, maka kita mesti menyesal di muka, artinya kita mesti bersiap-siap. Bukan menyesal kemudian yang tiada berguna lagi. Sehingga tepatlah kata pepatah di awal; sesal di muka pendapatan, sesal kemudian tiada berguna.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمُ.

No comments:

Post a Comment